UANG DI SAKU TUHAN

UANG DI SAKU TUHAN

(catatan kecewa atas Pemda Manggarai Barat)  04 Juli 2020 

Padi-padi mungil di persawahan Lembor mulai bermekaran. Para petani kembali bergumul di pematang sawah dan selokan tiap hari. Anak-anak kembali menemukan jati dirinya saat bermain lumpur di petak-petak sawah. Kalau saja waktu itu covid-19 dan teman akrabnya (media) tidak pernah ada, mungkin banyak petani Lembor tidak setengah hati menanam padi.

Benar bahwa covid-19 ialah sebuah sandiwara tersukses yang pernah saya tonton. Data dan argumen ilmiah nahas menjadi informasi sampah berserakan. Tak ada nilai tambah. Tak ada refleksitas. Yang ada malah hutang. Mau pinjam uang, pemilik uang bilang" tunggu selesai corona. Mau bayar hutang, istri bilang: minyak goreng dan minyak tanah sudah hampir habis. Sandiwaranya terletak di situ; tarik ulur pinjam uang dan bayar hutang dengan alasan corona. 

Beberapa waktu lalu, selepas mengairi sawah, saya bertemu dengan seorang mahasiswa legend di tanah Jawa sana. Kami sepakat berbincang di pinggir sawah untuk berdiskusi soal dana  bantuan covid-19 bagi mahasiswa.  Kira-kira begini sinopsis dari diskusi panjang nan alot itu: (1) Pemda Manggarai Barat (Mabar) sengaja memperlambat pencairan dana bantuan itu supaya strategi licik penguasa bisa berjalan mulus. (2) Rapit-test dan biayanya merupakan risiko logis atas kegoblokan dan wandi-wendos penanganan covid-19 oleh pemerintah.


Arah diskusi kami, belio hendak mengajak saya dan semua mahasiswa Mabar menuntut si Bupati agar segera cairkan dana bantuan itu. Bila perlu bakar-bakar di depan kantor bupati. Dalam hati, saya berpikir. Sabar, masa hati berpikir? Oh, Dalam hati saya bicara: sandiwara covid-19 sudah melewati batas-batas drama. Demo juga sebuah drama. Skenario demo sudah bisa dilacak dan dibungkam oleh penguasa dengan cara yang licik dan tak terduga. Demo itu cara kuno saat ingin turunkan suharto. Sekarang demo saja tidak cukup dan tidak milenial. Ujung-ujungnya ada masalah HAM dan sejenisnya. 

Kita semua sudah sepakat dan sepukut, bahwa penghuni paling bawah alam neraka diisi oleh koruptor. Pembunuh? Nah, dalam logika kapitalisme koruptor ialah pembunuh. Jadi, meskipun pendapatan daerah mencapai miliaran rupiah tiap tahunnya, akses jalan dan air minum di kampung-kampung tidak akan dibangun. Mengapa? Karena neraka sudah tidak diyakini benar-benar ada. Nasib neraka sudah hilang dari struktur psikologi koruptor/pembunuh.

Sesungguhnya kita semua adalah masyarakat galau. Kebenaran sudah lenyap dan hilang dari muka bumi. Tidak ada ukuran benar dan salah. Agama saja sudah tidak sanggup lagi menginterupsi persoalan dunia. Dana bantuan covid-19 bukanlah sebuah kebenaran. Ia hanya salah satu bentuk ilusi dari good governance. Itu fiksi! Kata Rocky Gerung. Itu sudah...

Kalaupun dana bantuan itu akan cair, sudah pasti cacat. Uangnya sudah bocor sejak dari pusat. Banyak berceceran sepanjang jalan. Kita tahu, tapi kita selalu maklumi dan maafkan. Budaya menghormati dan memaklumi penguasa sudah menjadi pemicu utama kemandekan pembangunan di Indonesia. Apalagi di Manggarai. Pemerintah/tuang sangat dihormati. Dosa-dosanya dihormati dan dipuji sekalian.

Maka, pemda Mabar wajib tau beberapa hal berikut; masyarakat Manggarai Barat perlahan sudah melek literasi. Mereka sudah bisa memeriksa logika Bupati saat mengambil keputusan. Setidaknya masyatakat sudah mulai muak dengan permainan politik penguasa. 

Kemudian, mahasiswa Manggarai Barat bukan mahasiswa zaman dulu. Mereka bukan masa lalu. Mereka tidak lagi membutuhkan nasihat. Mereka hanya butuh informasi untuk dianalisis dari berbagai perspektif sesuai perkembangan zaman.

Oleh karena itu, atas nama kemegahan sawah Lembor serta jalan-jalan rusak di sekitarnya, saya menuntut Pemda Mabar untuk segera sadar dan bangun dari tidur. Sebelum terlambat. 

PENUTUP:
Sawah Lembor menjadi saksi bisu atas jalinan kasih ratusan pasangan. Di atas motor revo, ditemani angin embusan dari Nanga Lili, dan terik matahari membuat suasana makin romantis. Semakin romantis, semakin lupa bahwa sawah-sawah sedang menunggu, suatu saat nanti sepasang kekasih akan membuktikan cinta mereka saat bekerja di situ.
Ujaran Mantan Pers "johano arkiang."

Penulis : Akbar Tanjung


Komentar

  1. Kalau fiksi kata rocky gerung diangkat dalam catatan kecil ini maka sy katakan catatan ini tdk menarik.

    BalasHapus
  2. Yayayaya beda persepsi hal yang wajar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelabuhan Sastra

Jogja dengan segala kenangan 🍁

ketika uang jadi kendala perkuliahan, Mahasiswa bisa apa,? apalagi kuliah online..??